SLAG JADI LIMBAH KHUSUS

 Sisa Produksi Baja Dianggap Bukan Bahan Berbahaya

     JAKARTA: Pemerintah segera mengubah klasifikasi limbah baja atau slag dari limbah bahan beracun dan ber­bahaya (B3) menjadi limbah khusus. Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim, dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian Arryanto Sagala mengatakan draf peraturan mengenai penggolongan slag sebagai limbah khusus sudah disepakati oleh instansi terkait. "Rapat-rapat soal peraturan itu sudah selesai bulan puasa lalu, seharusnya sekarang tinggal dibuatkan aturan hukumnya," ungkapnya kepada Bisnis kemarin. Deputi Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Limbah Berbahaya dan Beracun, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman mengatakan draf peraturan soal perubahan status 13 jenis limbah B3 menjadi limbah khu­sus sudah final. "Saat ini sudah ada di badan hukum KLH, sudah disetujui bersama dengan Kemenperin", tuturnya. Dia mengatakan aturan mengenai pengelolaan, pembuangan, dan penyimpanan limbah khusus lebih lunak daripada aturan atas limbah B3. Namun, jelas Masnellyarti, lim­bah khusus bukan berarti keluar dari limbah B3 karena masih mengandung logam berat yang secara kronis bisa menyebabkan pencemaran dan kerusakan ling-kungan. Draf peraturan pemerintah tersebut setelah disahkan akan merevisi PP No. 74/2001 tentang Pengelolaan B3 dan PP No. 18 Jo 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3. Sebelumnya, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kemenperin Panggah Susanto mengungkapkan PT Krakatau Posco berencana mendirikan pabrik pengolahan slag menjadi bahan baku baja berkapasitas 1,5 juta ton per tahun. "Rencana tersebut masih terhambat karena status sebagai limbah B3 menyulitkan peng­olahan slag menjadi bahan baku lagi," kata Panggah.

Ditanggapi dingin

Keputusan penggolongan slag sebagai limbah khusus masih ditanggapi dingin oleh asosiasi produsen baja dan logam nasional. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Baja dan Logam (IISA) Edward Pinem belum mau berkomentar sebelum memastikan implementasi revisi PP tersebut. "Kami masih menunggu peratur­an menteri dari KLH, untuk me­mastikan penerapan PP tersebut seperti apa," katanya. Wakil Ketua IISA Irvan Hakim menjelaskan produsen baja ma­sih memiliki beberapa keberatan mengenai rancangan awal revisi PP tersebut. "Kami sudah menyampaikan permintaan kepada KLH mengenai beberapa hal, saya tidak tahu apakah sudah diakomodasi atau tidak [dalam draf PP]," ujarnya. Arryanto menjelaskan IISA berpendapat seluruh sisa produk­si baja dan logam tidak termasuk limbah berbahaya dalam konvensi Basel mengenai perdagangan dan transportasi Limbah internasional. "Saya rasa, ada miscommunication karena IISA menyebutkan slag tidak ada di Basel, padahal jelas ada di list B," katanya.

 

Sumber:

OLEH DEMIS RIZKY GOSTA : Rubrik Industri : Bisnis Indonesia 6 September 2011