Keterbukaan Ekonomi: Negara Perdagangan Terbuka yang Kurang Liberal

Keterbukaan Ekonomi: Negara Perdagangan Terbuka yang Kurang Liberal

Oleh : I Made Krisna Y.W.G

Di satu sore yang cerah, pimpinan saya, Kepala Bidang Sumber Daya Manusia Industri Bapak Arifin Suadipraja, membuka sebuah diskusi. Diskusi yang insindental tersebut kira-kira bertemakan tentang keterbukaan ekonomi di Indonesia. Ia mengatakan kepada saya bahwa saat ini, banyak orang yang mengatakan bahwa Indonesia, meskipun memiliki Pasal 33 UUD 1945, pada prakteknya merupakan Negara paling liberal. Ia melanjutkan bahwa saat ini tarif-tarif perdagangan Indonesia sudah sangat kecil, sementara itu kita masih belum mengoptimalkan penggunaan hambatan non-tarif (seperti standar-standar, misalnya). Meskipun bapak Arifin menggunakan istilah ‘liberal’ ketika menjabarkan argumennya, saya mengasumsi bahwa dalam konteks diskusi kami, yang beliau maksud adalah keterbukaan perdagangan (liberalisasi perdagangan).

Muncullah rasa penasaran saya untuk sedikit menyelidiki tentang perekonomian Indonesia yang disebut-sebut paling liberal tersebut. Dengan bersenjatakan mesin pencari Google, saya menemukan beberapa artikel[1] yang menyebutkan bahwa indeks keterbukaan ekonomi Indonesia sebesar 80%, jauh di atas Amerika Serikat (negara yang disebut-sebut paling liberal) sebesar 54%. Sayangnya saya tidak berhasil menelusuri lebih lanjut dari mana dan apa arti dari angka-angka tersebut.

Meskipun saya tidak berhasil mendapatkan informasi lebih lanjut tentang persentasi keterbukaan ekonomi yang dimaksud oleh artikel-artikel diatas, saya menemukan indeks lain tentang keterbukaan ekonomi suatu negara. The Heritage Foundation, sebuah lembaga think tank berbasis di Amerika Serikat, memformulasikan Index of Economic Freedom, atau indeks kebebasan ekonomi. Dalam situsnya[2], The Heritage Foundation mendefinisikan kebebasan ekonomi sebagai sebuah hak fundamental dari setiap manusia untuk mengontrol keputusanketenaga kerjaan dan kepemilikan aset mereka. Dalam negara yang memiliki kebebasan ekonomi yang tinggi, setiap warganya bebas untuk bekerja, mengkonsumsi, maupun membeli aset seperti keinginan mereka.

Definisi kebebasan ekonomi versi The Heritage Foundation inilah yang lebih mendekati ke definisi ‘liberal’, di mana negara yang paling liberal adalah negara yang interfensi pemerintahnya sangat minimal, kecuali dalam urusan penegakan hukum dan hak kepemilikan. Jadi, sebuah negara yang memiliki indeks kebebasan ekonomi yang lebih tinggi dibanding negara lainnya, berarti adalah negara yang lebih liberal, setidaknya menurut The Heritage Foundation. Lalu berapakah indeks kebebasan ekonomi Indonesia dibanding Amerika Serikat (AS)? Benarkan Indonesia lebih liberal?

Saya menggunakan angka indeks kebebasan ekonomi terbaru, tahun 2014 yang dapat diakses di situs The Heritage Foundation (2014 Index of Economic Freedom). Index kebebasan ekonomi yang dirilis tahun 2014 dibuat berdasarkan data-data tahun 2012. Indeks kebebasan ekonomi Indonesia adalah 58,5, sementara indeks kebebasan ekonomi AS adalah 75,5 (sekedar informasi, indeks kebebasan ekonomi memiliki skala 0 – 100, bukan persen). Dari angka tersebut, dapat disimpulkan bahwa AS masih lebih liberal dibandingkan Indonesia. Namun, apakah ini yang sedang kita cari? Belum tentu begitu.

Definisi ‘kebebasan ekonomi’ dengan arah diskusi kami sebelumnya tentang ‘liberalisasi perdagangan’ agak berbeda.Indeks kebebasan ekonomi memiliki berbagai kriteria penilaian. Menurut The Heritage Foundation, tingkat kebebasan ekonomi suatu negara dapat dinilai berdasarkan 4 kategori besar, yang setiap kategori besar terdiri dari dua sampai tiga kategori kecil. Kategori besar (kecil) tersebut terdiri dari Penegakan hukum (hak kepemilikan, kebebasan dari korupsi), keterbatasan peran pemerintah (kebebasan fiskal, belanja pemerintah), efisiensi kebijakan (kebebasan bisnis, kebebasan ketenaga kerjaan, kebebasan keuangan), dan keterbukaan pasar (kebebasan perdagangan, kebebasan investasi, kebebasan finansial). Apabila dicermati lebih lanjut, saya mencurigai bahwa apa yang dimaksud pak Arifin adalah kategori keterbukaan pasar. Jadi, keterbukaan pasar adalah bagian dari kebebasan ekonomi. Dalam konteks diskusi liberalisasi perdagangan, tentunya definisi “negara paling liberal” dari pak Arifin adalah hanya terbatas pada keterbukaan pasar, bukan liberal secara ideologi negara. Artinya, bisa saja pasar Indonesia lebih terbuka dari AS, namun karena hak kepemilikan di AS jauh lebih liberal, secara keseluruhan, AS tetap lebih liberal. Mari kita berkonsentrasi pada keterbukaan pasar saja, untuk menyesuaikan konteks.

Komponen keterbukaan pasar terdiri dari tiga komponen kecil, yaitu kebebasan perdagangan, kebebasan investasi, dan kebebasan finansial. Kebebasan perdagangan diukur berdasarkan tingkat rata-rata tarif perdagangan, dan juga non-tariffbarrier(hambatan non tarif). Kebebasan investasi diukur berdasarkan keketatan regulasi investasi dalam negeri (makin ketat, makin kecil skor kebebasannya). Kebebasan finansial diukur berdasarkan peran pemerintah dalam jasa finansial, misalnya peran pemerintah dalam alokasi kredit, intervensi pemerintah dalam penentuan kebijakan perbankan.

Situs The Heritage Foundation memperbolehkan kita mengakses data mereka secara timeseriesdan juga menunjukkan perbandingan antar kedua negara, secara masing-masing komponen. Indeks kebebasan perdagangan indonesia pada tahun 2014 adalah 74,8 sementara angka AS adalah 86,8. Sementara itu, indeks kebebasan investasi dari Indonesia dan AS adalah 40 dan 70. Sementara itu Indeks kebebasan finansial dari Indonesia dan AS adalah 60 dan 70. Tidak hanya pada tahun 2014, sejak tahun, 1995, tidak pernah ada kejadian dimana indeks dari ketiga kategori kecil tersebut di Indonesia, mengalahkan angka-angka Amerika Serikat.

Menurut The Heritage Foundation, meskipun tarif rata-rata Indonesia tergolong rendah (2,6%), namun hambatan non tarif berupa ijin impor dan ijin kuota impor sangat tinggi. Untuk AS, tarif rata-rata AS sedikit lebih rendah daripada Indonesia (1,3%), namun hambatan non tarif mereka tergolong baru dan tidak seketat Indonesia. Jadi dapat disimpulkan, menurut The Heritage Foundation, Indonesia masih kalah liberal dengan AS, baik secara keseluruhan maupun secara keterbukaan pasar.

Meski demikian, tidak semua komponen dalam indeks kebebasan ekonomi AS lebih tinggi dari Indonesia. Ternyata, dalam komponen keterbatasan peran pemerintah, nilai Indonesia lebih tinggi daripada AS. Dengan kata lain, intervensi pemerintah Indonesia dalam ekonomi masih lebih rendah daripada AS. Dalam komponen keterbatasan peran pemerintah, ada dua komponen kecil yaitu kebebasan fiskal dan belanja pemerintah. Kebebasan fiskal diukur dari besarnya pajak dalam suatu negara (makin besar pajaknya, makin kecil kebebasan fiskal warganya), sementara belanja pemerintah diukur dari besarnya belanja pemerintah dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. Skor kebebasan fiskal Indonesia pada tahun 2014 adalah 83,4 sementara skor belanja pemerintah Indonesia adalah 89,8. Bandingkan dengan AS yang kebebasan fiskalnya adalah 65,8 dan belanja pemerintahnya adalah 48,1. Bahkan sejak 1995, belum pernah peran pemerintah AS dalam ekonomi AS, kalah dari peran pemerintah Indonesia dalam ekonomi Indonesia. Pajak penghasilan di AS baik individual maupun korporat lebih tinggi daripada di Indonesia, dan APBN Indonesia (19% GDP) jauh di bawah APBN AS (40% GDP).

Hal ini terkait dengan subsidi. Sekilas, perdagangan AS lebih terbuka daripada di Indonesia. Namun AS termasuk negara yang menyubsidi Industrinya besar-besaran, terutama pertanian. AS setidaknya menghabiskan 20 milyar dolar AS per tahunnya untuk subsidi pertanian[3]. Bandingkan dengan anggaran kementerian pertanian di 2014 yang hanya 15,47 Triliun rupiah[4], atau 1,27 milyar dolar AS, dan belum tentu semuanya berupa subsidi pertanian. Industri pertanian yang disubsidi paling masif di AS adalah gandum, jagung, beras, kedelai dan kapas (pernah bertanya-tanya kenapa kita impor kedelai dari AS?).Untuk kapas (AS adalah eksportir kapas terbesar dunia), tanpa subsidi, ekspor AS akan kalah jauh dari petani-petani kapas di Afrika yang lebih efisien, dan harga kapas dunia akan jadi 15% lebih tinggi. WTO sudah mengharamkan subsidi kapas di AS, namun AS belum mengurangi subsidinya[5].

Tuduhan bahwa suatu negara lebih liberal dari negara lain dapat dielaborasi dari berbagai faktor, tergantung konteksnya. Ada beberapa bentuk intervensi pemerintah yang mendasari proses pembuatan keputusan ekonomis seseorang, dan keterbukaan perdagangan hanya salah satunya. Intervensi pemerintah secara besar-besaran di suatu industri, meskipun perdagangannya bebas, dapat membunuh semangat liberalisasi itu sendiri. Pun kita sebagai pemerintah mesti hati-hati ketika sedang melaksanakan studi banding. Nyatanya, industri pertanian AS menjadi besar berkat subsidi, bukan semata-mata karena industrinya memang berkualitas dan efisien.



[2]http://www.heritage.org/index/about(diakses 4 Oktober 2014)