Tesing SDMI Beranda

Upah Buruh dan Dinamika Labor Share di dunia

Oleh : I Made Krisna Y.W.G

 

Beberapa tahun belakangan ini, isu kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) acap kali menghiasi judul-judul di berita nasional. Dalam prinsip ekonomi berbasis pasar (neoklasik), upah buruh ditentukan atas dasar negosiasi antara pekerjanya dengan pemilik usaha. Apabila upah yang ditawarkan pemilik usaha lebih rendah dari pemilik usaha lainnya, maka tenaga kerja akan lari ke perusahaan yang menawarkan upah paling tinggi. Nah, apabila negosiasi ini tidak berhasil (upah buruh yang terlalu rendah, misalnya), maka pemerintah harus turun tangan.

Secara sederhana, penjelasan diatas dapat menyimpulkan bahwa apabila negosiasi buruh dan pemilik usaha diserahkan ke mekanisme pasar, maka yang terjadi adalah buruh akan dieksploitasi oleh pemilik usaha.Ide tersebut pada dasarnya serupa dengan ide Karl Marx yang terkenal, dan seiring berjalannya waktu mengalami beberapa kritikan.Namun biarkanlah ide dan teori menjadi ajang perdebatan orang-orang cerdas. Sementara mereka berdebat, mari kita cek fakta empirisnya: apakah benar kaum buruh dieksploitasi oleh kaum pemilik modal?

Untuk membahas isu tersebut, saya mengutip hasil dari karya tulis dari 3 orang, yaitu Elsby et al (2013), Jaumotte and Tytell (2007), dan Harrison (2005). Dalam tulisan ini, saya tidak membahas sama sekali tentang metodologi, dan hanya mengambil hasilnya.

Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah labor share[1]beberapa kali. Untuk itu, penting bagi saya untuk menjelaskan terlebih dahulu apa arti dari labor share. Pada dasarnya, produk yang dijual, secara sederhana, dibuat dari modal dan buruh. Dari harga jual tersebut, maka perusahaan akan mendapatkan laba. Nah laba tersebut didistribusikan ke pemilik modal dan buruh.Sederhananya, pemilik modal memberi gaji ke buruh, dan pemilik modal mengambil sisanya. Kenapa disebut labor share dan tidak disebut gaji, upah, wage atau salary? Karena yang disebut share adalah bagian dari total pendapatan. Apabila gaji buruh turun, tapi gaji pemilik modal juga turun secara proporsional, artinya gaji buruh turun, namun labor share nya tetap. Apabila labor share nya tetap, artinya tidak ada transfer pendapatan dari buruh ke pemilik modal. Gaji buruh turun karena perusahaan secara keseluruhan memang sedang sial.Karena alasan tersebutlah, melihat dinamika labor share lebih tepat untuk menggambarkan eksploitasi buruh, dibandingkan melihat dinamika gaji buruh.

Elsby et al (2013) (selanjutnya akan saya sebut Elsby) mengambil studi di Amerika Serikat (AS) dari tahun 1948 sampai dengan tahun 2013. Menurut mereka, labor share di AS selalu stabil sepanjang sejarah, namun sejak akhir 1980-an, labor share di AS mulai mengalami tren yang relatif menurun. Mereka mencurigai beberapa faktor yang menjadi penyebab penurunan labor share tersebut. Deunionization, sebagai proxy daya tawar buruh, dapat menjadi kambing hitam.Deunionization diukur dari seberapa banyak pegawai yang dicover oleh asosiasi buruh. Namun ternyata hal ini tidak terbukti menjadi faktor penting.

Faktor berikutnya yang dicek oleh Elsby adalah capital to labor substitutiability.Secara sederhana, capital to labor substitiution adalah seberapa mudah mengganti tenaga buruh dengan mesin, seperti yang sering diancamkan oleh pengusaha.Namun ternyata hal ini tidak terjadi di AS: di saat labor share suatu sektor menurun, ternyata suntikan modal di sektor tersebut juga menurun. Menurut Elsby, modal dan buruh tidak selalu saling substitusi, ada kalanya modal dan buruh adalah komplementer: dengan ditambahkan modal, buruh menjadi lebih produktif, menghasilkan lebih banyak, dan meningkatkan labor sharenya. Modal dapat meningkatkan kompetensi seorang buruh, misalnya membeli mesin atau piranti lunak yang disertai dengan pelatihan.

Satu-satunya faktor yang terbukti secara sah dan meyakinkan adalah globalisasi.Dalam tulisan Elsby, globalisasi diukur dengan melihat seberapa besar suatu industri menggunakan komponen impor sebagai bahan mentah atau bahan setengah jadinya, untuk dijadikan barang jadi. Dampak dari globalisasi adalah dengan meningkatnya impor sebesar 3,3%, labor share menurun sebesar 3,9%. Globalisasi bisa juga dianggap melemparkan pekerjaan ke luar negeri, sehingga buruh di AS, melalui impor sebagian dari komponen produksi, sebenarnya bersaing dengan buruh di luar negeri.

Jaumotte and Tytell (2007) (selanjutnya akan saya sebut JT) mengambil studi di negara-negara OECD(yang mana artinya negara-negara kaya) dengan jangka waktu studi 1982 – 2002. Berbeda dari Elsby, JT langsung menargetkan globalisasi sebagai biang kerok menurunnya labor share.Mereka menggunakan harga perdagangan, offshoring, dan imigrasi sebagai proxy dari globalisasi.Ketiga proxy tersebut diterjemahkan dalam beberapa variabel, dengan dikontrol juga oleh kebijakan yang berhubungan dengan tenaga kerja. Selain mengukur labor share secara keseluruhan, JT juga membagi labor share berdasarkan sektor yang diisi mayoritas skilled labor dan non-skilled labor. Untuk alasan kemudahan, labor share di sektor yang mayoritas diisi skilled labor akan langsung saya sebut skilled labor share, dan sebaliknya akan saya sebut non-skilled labor share. Namun jangan lupa bahwa kedua definisi ini berangkat dari sektor, bukan spesifik buruhnya.

Untuk sekedar mengingatkan, proxy yang digunakan oleh JT adalah intensitas offshoring (rasio antara imported intermediate inputs dengan total intermediate inputs), imigrasi (rasio antara tenaga kerja asing dengan total tenaga kerja), intensitas modal industri sektor Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) (rasio antara stok kapital TIK dengan total stok kapital, sebagai proxy intensitas teknologi), dan kebijakan terkait tenaga kerja (tax wedges dan unemployment benefit), dan harga dunia.

Meningkatnya offshoring mengakibatkan meningkatnya berkurangnya labor share.Apabila anda cermati, offshoring pada JT sebenarnya dapat kita hubungkan dengan proxy globalisasi a la Elsby. Di sana, Elsby juga menyatakan bahwa meningkatnya globaliasasi berkontribusi terhadap berkurangnya labor share. Bedanya adalah, offshoring pada JT hanya terasa efeknya pada negara eropa yang kurang kaya.Hal ini dikarenakan di Eropa, negara yang menjadi supplier adalah negara yang kaya, bukan yang miskin (Impor AS sebagian besar berasal dari Cina, yang notabene negara berpendapatan per kapita relatif rendah).Kenapa bisa demikian, adalah akibat dari imigrasi.

Efek dari imigrasi lebih terasa efeknya di negara ekonomi maju di eropa.Meningkatnya fraksi imigran dalam ekonomi di negara kaya eropa mengakibatkan turunnya labor share.Tenaga kerja lokal harus bersaing dengan tenaga kerja asing. Bila kita amati lebih dalam, memang pergerakan tenaga kerja di eropa jauh lebih cair daripada pergerakan tenaga kerja AS-Cina. Lebih lanjut lagi, Efek dari imigrasi lebih terasa padaskilled labor share. Hal ini menandakan bahwa tenaga kerja yang diimpor sebagian besar adalah skilled labor (sedikit melenceng, ini menunjukkan kecenderungan brain drain. bila anda merasa skilled, anda berpeluang mencari pekerjaan di negara-negara OECD).

Pertumbuhan kapital TIK cukup menarik. Pertumbuhan teknologi menurunkan labor share untuk negara-negara non AS. Namun untuk AS, pertumbuhan teknologi justru mengakibatkan labor share meningkat.Dapat kita lihat bahwa di AS, teknologi bukanlah substitusi untuk buruh mereka, tapi justru komplementer, sesuai dengan pendapat Elsby. Sementara itu untuk kebijakan tenaga kerja, menurunnya tax wedges meningkatkan labor share di AS, tapi untuk negara-negara eropa, unemployment benefit mengakibatkan berkurangnya labor share.

JT menutup publikasinya dengan menawarkan rekomendasi kebijakan (akan saya bahas lebih lanjut di akhir tulisan ini). Dan JT juga menyimpulkan bahwa meski labor share dunia cenderung menurun, namun kue ekonomi secara nilai absolut bagi buruh sebenarnya naik, karena harga-harga turun. Dengan kata lain, meski labor share turun, namun sebenarnya upah riil buruh dibanding tahun sebelumnya terus naik. Pendapat saya, ini artinya pendapatan kaum pemilik modal naik dengan kecepatan yang lebih cepat dari upah buruh, mendorong ketimpangan, meskipun pendapatan keduanya secara riil naik.

Harrison (2005) mengambil studi di 100 negara, yang sebagiannya adalah negara berkembang, dengan jarak waktu 1960 - 2000.Ia mengatakan bahwa tawar menawar upah buruh (dan juga labor share), buruh dan pemilik modal berebut pengaruh. Hal yang menguntungkan pemilik modal adalah bahwa modal lebih mudah dipindahkan daripada buruh.Globalisasi membuat pengenaan pajak pada modal menjadi sulit, sehingga pemerintah umumnya memajaki tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan labor share berkurang karena dipangkas oleh pemerintah.

Secara agregat, Harrison (2005) menyimpulkan bahwa pola penurunan labor sharedi negara maju dan negara berkembang berbeda. Di negara maju, sebelum tahun 93, labor share naik 0,2percentage point tiap tahun, namun setelah 1993, labor share turun dengan rata-rata 0,4 percentage point tiap tahun. Sementara di negara berkembang, sebelum tahun 93, labor share turun 0,1percentage point tiap tahun, namun setelah 1993, labor share turun dengan rata-rata 0,3 percentage point tiap tahun.

Menurut penelitian Harrison, elastisitas substitusi antara kapital dan buruh adalah kecil, dan di negara-negara berkembang bahkan lebih kecil lagi, sehingga ancaman pemilik modal untuk mengganti buruh dengan mesin makin tidak relevan.Harrison juga menyatakan bahwa terjadi konvergensi pendapatan antara buruh di negara ekonomi kecil dengan negara kaya.Selain itu, penelitian Harrison mengamini bahwa semakin sulit kapital berpindah tempat, semakin tinggi labor share di tempat tersebut.Hal yang ditambahkan oleh Harrison adalah nilai tukar mata uang.Apabila nilai tukar di negara maju terapresiasi, maka memindahkan modal ke luar negeri menjadi menarik, dan berujung berkurangnya labor share di negara tersebut.Namun hal ini tidak terbukti untuk negara berkembang.

Ketiga artikel tersebut mengindikasikan bahwa labor share di seluruh dunia cenderung berkurang. Sejauh ini, secara umum, hal-hal yang sering diasosiasikan dengan menurunnya labor share adalah rendahnya daya tawar buruh akibat kebijakan, globalisasi, dan pertumbuhan teknologi di sektor industri. Ketiga hal ini juga dikonfirmasi oleh peneliti lain, yaituJacobson dan Occhino.Dari hasil-hasil tersebut, apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah?

JT menganjurkan untuk mengurangi beban pajak untuk buruh, dan mengurangi unemployment benefit.Untuk unemployment benefit, sepertinya tidak ada di Indonesia.Hal yang paling dekat dengan itu adalah BLT, dan kartu-kartu sakti terbaru pak Jokowi.

Nah, kebijakan yang paling populer dan paling sering diperdebatkan saat ini di media adalah upah minimum.Sayangnya kebijakan upah minimum tidak disebutkan oleh referensi-referensi saya.Namun apabila kita melihat lebih jauh, saat ini labor share di seluruh dunia memang menurun. Apabila substitusi kapital-buruh memang rendah, dan pemindahan aset itu mahal, maka pengusaha pasti akan membayar upah tersebut. Artinya, selama ini memang terjadi eksploitasi buruh. Dengan meningkatnya upah minimum, maka pemilik modal dalam bersaing dengan pemilik modal lainnya, akan mengurangi marjin labanya sendiri, daripada mengambil dari buruh. Bagaimanapun juga, yang diincar oleh pemilik modal sebenarnya bukannya capital share, tetapi nilai laba absolut. Apabila untuk mendapat laba besar tersebut, labor share nya juga besar, hal ini seharusnya tidak menjadi masalah.

JT juga menganjurkan untuk melakukan peningkatan kompetensi buruh.Ini bukan hal baru, dan saat ini Kementerian Perindustrian sedang berupaya mendorong pertumbuhan pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi dan pembentukan infrastruktur sertifikasi kompetensi, sesuai amanat UU No. 3 Tahun 2014. Ada banyak sekali sektor industri yang harus dibangun sertifikasi kompetensinya, namun Kementerian Perindustrian lebih berfokus pada industri bernilai tambah tinggi, penyerap tenaga kerja, industri yang diratifikasi untuk persiapan MEA, dan sektor industri yang berhubungan dengan Balai Diklat Industri (BDI), SMK dan Pendidikan Tinggi di lingkungan Kementerian Perindustrian. Apabila infrastruktur sertifikasi ini telah selesai, anda bisa mengikuti pelatihan berbasis kompetensi (dengan standar kompetensi yang telah disusun oleh gabungan industri, akademisi dan pemerintah) dan mendapat sertifikat, kompetensi.Ingin tau lebih jauh tentang infrastruktur sertifikasi kompetensi? Hubungilah Pusdiklat Industri Kementerian Perindustrian!



[1]Sebenarnya saya ingin sekali menggunakan istilah Indonesia, namun saya kesulitan mencari padanan kata yang tepat.Sementara ini terpaksa kita menerima istilah yang saya gunakan. Apabila anda menemukan padanan bahasa Indonesia, tolong beri tahu saya yah!