Sambut Era Industri 4.0, Sekolah Vokasi Jadi Tumpuan Perekonomian

Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Pendidikan Vokasional di Era Industri 4.0”.

Diselenggarakan di Hotel Santika Yogyakarta, para pembicara yang dihadirkan mengulas berbagai tantangan, serta kesempatan untuk mengembangkan pendidikan vokasional sebagai penggerak perekonomian Indonesia di masa mendarang.

“Pemerintah sadar bahwa kita sudah terlalu lama meninggalkan pendidikan vokasi. Maka sekarang setiap kali Presiden berbicara tentang pendidikan, yang disampaikan adalah pendidikan vokasi, bagaimana ini kita revitalisasi,” tutur Dirjen Kelembagaan Iptek Dikti Kemenristek dan Dikti, Pardono Suwignjo.

Pardono menuturkan, dalam dunia pendidikan tinggi Indonesia, jumlah politeknik serta sekolah vokasi masih terlalu sedikit, hanya sekitar 5,4 %. Jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan persentase jumlah mahasiswa politeknik di negara-negara industri maju.

Selain minim dari segi jumlah, persoalan lain terletak pada segi kualitas, yang ditunjukkan dari akreditasi masing-masing perguruan tinggi.

“Di Indonesia jumlah politeknik kurang, mutunya pun belum bagus. Yang terakreditasi A hanya 3 dari 262 politeknik,” paparnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pemerintah telah menyusun kerangka revitalisasi pendidikan tinggi vokasi agar industri mendapat pasokan tenaga kerja kompeten dan semua lulusan sekolah vokasi bisa mendapat pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.

Revitalisasi yang dilakukan di antaranya meliputi penyesuaian kurikulum pendidikan dengan kebutuhan industri, pembangunan teaching factory, perekrutan lebih banyak dosen dari industri, re-training dosen, serta melakukan revisi terhadap peraturan tentang pendidikan vokasi.

“Kita juga menyiapkan sistem multy entry multi exit, dan mahasiswa bisa masuk program di awal tahun pertama, kedua, ketiga, atau keempat, dan keluar di akhir tahun kedua, ketiga, atau keempat. Di samping mendapatkan ijazah, mahasiswa juga mendapatkan sertifikat kompetensi apabila mereka lulus dalam tes sertifikasi kompetensi,” jelas Pardono.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Sekretariat Badan Nasional Sertifikasi Profesi Kemenaker, Ir. Darwanto, memaparkan beberapa tantangan dari digitalisasi industri bagi tenaga kerja Indonesia, di antaranya hilangnya 1-1,5 miliar pekerjaan sepanjang 2015-2025 karena digantikannya posisi manusia dengan mesin otomatis. Selain itu, diestimasi pada masa yang akan datang, 65% murid sekolah dasar di dunia akan bekerja pada pekerjaan yang belum pernah ada hari ini.

Meski demikian, era ini juga menghadirkan berbagai potensi untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kualitas hidup bagi masyarakat. Potensi inilah yang harus diolah dan diarahkan agar dapat sungguh-sungguh memberikan dampak positif bagi pembangunan nasional.

“Negara harus hadir, menyikapi secara bijaksana setiap potensi dan mengarahkannya kepada kekuatan. Pemanfaatan teknologi bagi kehidupan dalam membentuk lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Darwanto.

Secara lebih spesifik, salah satu strategi ketenagakerjaan yang disusun untuk merespons tuntutan tenaga kerja masa depan di antaranya melakukan re-desain kurikulum dengan pendidikan human digital, kolaborasi antara dunia industri, lembaga diklat dan asosiasi untuk identifikasi kebutuhan kompetensi masa depan, serta investasi pengembangan kompetensi digital.