Login

Pusat Pendidikan & Pelatihan Industri

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA

Menumbuhkan enterprenuer-enterpreneur baru kelas menengah di Indonesia

Menumbuhkan enterprenuer-enterpreneur baru kelas menengah di Indonesia

Oleh : Etmawati Bulkia

Widyaiswara Pusdiklat Industri

Laporan berjudul World Wealth Report 2011 yang diterbitkan secara berkala oleh Merrill Lynch dan Capgemini menunjukkan dua tipikal orang-orang kaya di kawasan asia-Pasifik. Pertama, jumlah orang-orang super kaya (Highly Net Worth Individuals-HNWls) tumbuh sangat pesat dengan proporsi terbesar usia relatif muda 31-45 tahun (sebanyak 38%) kedua orang-orang sangat kaya menempatkan investasinya paling besar dalam bentuk kas dan deposito (sebesar 61%).

Apa bedanya orang-orang kaya dengan usia tua dan muda? Usia muda (umur produktif) umumnya memiliki kebutuhan konsumsi lebih tinggi. Misalnya seorang eksekutif muda dengan gaji jutaaan rupiah perbulan, ketika ada mobil Lexus jenis baru, dia akan lebih mudah tergoda untuk membeli. Atau yang lebih sederhana orang usia produktif mengkonsumsi makanan lebih banyak, sehingga semakin banyak orang kaya berusia muda, bisnis seperti restoran mewah, pusat kebugaran, tempat hiburan elit serta kebutuhan-kebutuhan lain menjadi bisnis yang tumbuh sangat pesat.

Di Indonesia pengusaha-pengusaha muda bermunculan. Mereka berangkat dari profesional yang kemudian menjadi pemilik (owners) dari sebuah bisnis. Umumnya mereka sangt sukses dan berhasil enduduki posisi tertinggi dalam usia yang relatif muda. Mereka memilih untuk keluar dari perusahaan dari pendapatan berlimpah yang mereka peroleh ketika duduk sebagai eksekutif. Ada pula kelompok pengusaha muda yang berangkat dari kelompok perusahaan (holding company) keluarga yang semakin besar, sehingga membutuhkan lebih banyak anggota keluarga terlibat dalam bisnis. Atau meneruskan apa yang sudah dirintis oleh orang tua mereka. Prospek perekonomian Indonesia yang sangat menggairahkan, tumbuhnya kelas menengah serta bermunculannya pengusaha muda akan terus meningkat di masa mendatang. Data Kementerian Koperasi dan usaha Kecil dan menengah (Kemenkop UKM) menunjukkan bahwa dari puluhan ribu lulusan perguruan tinngi hanya sekitar 17% yang berminat untuk menjadi wirausahan. Kajian Kemenkop UKM januari 2012 juaga menyebutkan jumlah wirausahawan di tanah air baru mencapai 1,56% dari total jumlah penduduk. Kenyataan ini membuat Indonesia tertinggal jauh dari negara Asia lainnya seperti : China dan Jepang dengan jumlah wirausahawan 10% dari total populasi. Malaysia 5% dan Singapura 7%. Terlebih di Amerika Serikat lebih dari 12% penduduknya menjadi entreprenuer. Menurut sosiolog David McCleiland untuk membangun ekonomi bangsa dibutuhkan minimal 2% wirausahawan dari keseluruhan populasi. Dengan kata lain idealnya saaat ini Indonesia sudah memiliki 4.8 juata wirausahawan. Dengan adanya pengusaha baru akan semakin membuka lapangan kerja baru, menurunkan tingkat kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraaan yang ditopang oleh lulusan yang produktif dan berwawasan global.

Diharapkan nantinya dengan potensi yang dimiliki dari sumber daya manusia Indonesia bisa melewati fase transformasi lanjutan menjadi negara maju. Hal ini ditandai dengan mengembangkan inovasi. Negara maju ditandai dengan kemampuan teknologi, kemampuan organisasi dan manajerial, serta rekayasa pengetahuan (human knowledge). Jikabangsa Indonesia hanya puas menjadi pasar bai produk-produk asing tanpa menyiapkan diri melakukan alih teknologi serta mengembangakan inovasi, maka negara kita akan menjadi penonton saja atas produk-produk yang ditawarkan oleh produsen tanpa kita mampu melakukan suatu perubahan maupun kemampuan untuk memproduksi sendiri. Sudah saatnya para pengusaha dan pemerintah memikirkan berbagai bentuk investasi untuk mendorong kapasitas inovasi.

Target pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik yang dilansir ADB, memang cukup tinggi bahkan melampaui proyeksi pertumbuhan ekonomi negara maju. Negara-negara di Asia Pasifik perlu menciptakan pertumbuhan ekonomi secara inklusif. Keberhasilan Asia Pasifik menggenjot pertumbuhan ekonominya justru meningkatkan disparitas di antara negara-negara di kawasan tersebut. peningkatan investasi di sektor pendidikan untuk mengurangi kesenjangan kualitas sumber daya alam dan investsi di sektor infrastuktur sangat diperlukan untuk memperluas aksesbilitas dan memperbaikai layanan bagi semua pihak.

Fakta bahwa pola berfikir dan budaya kreatif talah lama tumbuh dan berkembang dalam bangsa ini, dapat kita temu kenali dari warisan-warisan yang kita nikmati. Dari catatan-catatan sejarah, epos-epos, artefak, pahatan-pahatan pada candi-candi, dan peninggalan situs-situs kuno. Sejatinya sebagai sebuah keunggulan semua kreasi terjadi tidak dengan sendirinya, tidak jatuh dari langit tetapi terungkit dari kreasi, keingintahuan, kemauan, dan daya juang tangan-tangan dan otak-otak minoritas kreatif. Aristoteles menyatakan “ kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan ketidakbiasaan”. Patut disadari oleh kita semua bahwa sesungguhnya sebuah produk kreativitas itu tidak bersifat universal, tidak stagnan, tidak statis, tetapi memiliki batas kejayaan, umur (limitation), eksistensi dan keberlakuan. Kebutuhan, selera manusia, permasalahan, tantangan dan perubahan yang tidak terbatas yang senantias berputas adalah kedinamisan dan kehadiran produk kreatifitas baru yang meredupkan dan menjenuhkan produk kreativitas lama.

Berbicara mengenai kewirausahaan memang tidak dapat dilepaskan dari soal kemandirian bangsa. Kedua hal itu saling mempengaruhi satu sama lain. Jika kuantitas dan kualitas kewirausahaan suatu negara baik, maka dapat dipastikan bahwa kemandirian negara bersangkutan baik pula. Kehadiran para wirausahawan penting untuk menopang keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi bangsa, seperti peningkatan kesejahteraan dan mengurangi pengangguran.Untuk itu, pemerintah harus mulai secara serius memberikan perhatian terhadap masalah kewirausahaan di Indonesia baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Diperlukan peran konkret pemerintah melalui penciptaan program pendidikan kewirausahaan bagi pemuda guna memberikan kesempatan belajar kepada mereka agar memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan menumbuh kembangkan jiwa kewirausahaan.

 Namun, perlu disadari pula bahwa pemerintah agaknya tidak mampu melakukan hal itu sendiri mengingat segala keterbatasan pendanaan yang dimiliki oleh pemerintah. Karena itu, dibutuhkan kontribusi dan peran pihak-pihak lain untuk mewujudkan hal itu.Guna memacu jumlah entrepreneur di Tanah Air, perguruan tinggi harus berperan. Dengan kekuatan analisis, pengembangan teknologi, dan kecepatan penguasaan informasi, perguruan tinggi dapat mendorong tumbuhnya technopreneur, yaitu entrepreneur yang menggunakan teknologi untuk mentransformasi bahan bernilai relatif rendah menjadi produk bernilai tinggi.

 Hal ini sangat strategis, karena cepatnya perkembangan teknologi dan terbukanya arus informasi menyebabkan konsumen menuntut produk berkualitas. Siklus hidup produk semakin pendek. Hanya produk penuh inovasi yang akan bertahan dan berkembang. Sayang, selama ini banyak perguruan tinggi Indonesia memiliki proses pendidikan yang terbatas mencetak lulusan profesional atau pencari pekerja. Karena itu, perlu reorientasi pendidikan untuk menumbuhkan technopreneur melalui integrasi proses akademik dan nonakademik.

Inovasi Dosen dan Mahasiswa Budaya inovasi mutlak ditumbuhkembangkan melalui proses belajar mengajar dan kurikulum yang memadai. Mahasiswa hanya mampu berinovasi jika diberi kesempatan. Saat ini, banyak mahasiswa dan dosen bidang inovasi, namun semuanya masih berskala laboratorium dan belum siap dikomersialkan.Kondisi ini perlu ditingkatkan pada skala ganda atau pilot plant sehingga kelayakan produksinya semakin jelas. Jika belum ada laboratorium skala ganda di kampus, perguruan tinggi perlu menjalin kerja sama dengan pengusaha besar dan industri kecil menengah (IKM). Upaya ini diharapkan mampu menjawab dinamika di industri.

 .Menumbuhkan technopreneur hanya mengandalkan mata kuliah kewirausahaan dirasa kurang memadai. Muatan technopreneurship dapat dimasukkan berbagai mata kuliah yang terkait erat dan memilikilearning outcome (dampak pembelajaran) untuk menumbuhkan technopreneur. Misalnya pengetahuan bahan agroindustri, teknologi pengolahan, hingga pemasaran.Technopreneurship dapat dijadikan soft skill yang dikelola sebagai kegiatan nonakademik. Sudah selayaknya program studi menganggarkan biaya untuk magang di industri, sehingga pengusaha tidak dirugikan. Bahkan pengusaha dapat memperoleh ide pengembangan usaha dan calon mitra bisnis. Pengusaha juga dapat dilibatkan sebagai dosen tamu.

Mentor pendidikan berorientasi technopreneur sangat penting. Karena itu, perlu dibangun hubungan yang baik dengan pengusaha dan alumni untuk menjamin terlaksananya pendidikan berorientasitechnopreneurship. Geliat perguruan tinggi untuk menumbuhkan technoprenur perlu didukung stakeholder lain, yaitu pemerintah, pengusaha, dan lembaga keuangan. Pemerintah mutlak memberikan kemudahan berusaha dan kepastian hukum. Insentif dan proteksi terhadap technopreneur pemula layak diberikan. Keamanan investasi perlu dijaga. Berbagai pungutan liar mutlak dihilangkan. Aspek pembiayaan seluas-luasnya kepada siapa saja (financial inclusion) menjadi faktor penting untuk menumbuhkantechnopreneur.

 Pengusaha menengah hingga besar berperan penting sebagai mentor bagi teknopreneur pemula dan kecil. Sayang, budaya mentoring pengusaha besar pada technopreneur pemula, masih termarjinalkan aksi akuisisi dan ekspansi usaha dari hulu ke hilir pengusaha besar. Kondisi ini tak boleh diteruskan, jika pengusaha besar ingin menciptakan iklim usaha yang kondusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.